Menurut BKKBN (Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana), rentang usia remaja adalah usia 10-24 tahun. Usiaku sekarang
adalah 24, yang artinya tahun ini adalah tahun terakhirku menjadi seorang
remaja. Akan tetapi di Indonesia banyak angapan bahwa rentang usia remaja
berakhir ketika mereka sudah lulus SMA alias usia 18 tahun. Hal ini didukung
oleh Peraturan Kesehatan RI no 25 tahun 2014 yang menyatakan bahwa remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Usia 24 di Indonesia bukanlah
usia yang bisa dianggap muda lagi. Orang-orang sudah mulai bertanya kapan kerja,
kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, kapan punya rumah, dan
semua pertanyaan rungsing dewasa lainnya. Hai, aku masih remaja!!!
Bosan rasanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang datang. Kadang mereka datang dengan nada perhatian,
nada kasian, nada memberi semangat, dan tentu saja ada juga yang datang dengan
nada merendahkan seperti “kamu udah usia
segini belum bisa ngasih ke orangtua? Kerjaan kamu kan dokter.. dokter kan gede
gajinya..” Rata-rata pertanyaan merendahkan itu datang dari kalangan non
medis yang kuliahnya relatif singkat hanya 3-4 tahun saja. Orang-orang yang
berasal dari kalangan medis biasanya lebih mengerti kalau sekolah di dunia
kesehatan itu tidak mudah. Butuh minimal 7 tahun untuk bisa bekerja mandiri
(Sekolah sarjana 3,5 tahun, pendidikan profesi 1,5 tahun, nunggu internship 7
bulan, internship 1 tahun, nunggu berkas-berkas 1-2 bulan, dan bulan-bulan lain
yang dilalui saat menunggu ketidakpastian). Apakah aku masih minta uang sama
orangtua? ENGGAK. Selepas pendidikan profesi aku sudah tidak bergantung lagi
pada orangtua. Aku mencari penghasilan sendiri dengan cara menjadi asisten
pendidikan untuk residen (dokter yang sedang sekolah spesialis), menjadi
penerjemah, menjual bingkisan wisuda, dan usaha-usaha lainnya. Namun ya
penghasilannya pun angin-anginan. Kadang ada kadang enggak jadi memang belum
bisa memberikan uang rutin untuk orangtua seperti lulusan-lulusan lainnya. Uang
yang sudah ditabung pun lama-lama terkeruk dengan sendirinya seiring dengan
kebutuhan yang selalu ada.
Di usia hampir seperempat abad
ini pun banyak yang membuat gelisah tidak menentu, berpikir berlebihan kesana-kemari,
hingga lupa bahwa kehidupan sebenarnya harus terus dijalani. Salah satunya adalah
perkara hati. Bab yang pasti dimiliki semua orang di buku kehidupannya. Banyak
yang datang dan pergi sesuka hati hingga
hati ini menjadi merasa bodo amat dan kurang peka. Banyak pula janji-janji yang
hanya sekedar hitut melepes tina bujur
embe. Sabodo teuing ah..... (padahal terus aja kepikiran). Kadang masih
sulit untuk mengambil langkah tegas dalam hal ini. Alih-alih menimbulkan
pemikiran positif, yang ada malah denial
berkepanjangan. Iya, berpikiran positif dan denial
memang beda tipis. Namun semuanya butuh waktu toh?
Kehidupan sosial pun ikut menjadi
beban tersendiri. Teman-teman yang dahulu dekat kini mulai menjauh karena
tentunya mereka memiliki mimpi masing-masing. Bertemu menjadi hal yang sulit
bahkan meski rumah kami hanya beda 1 gang saja. Teman-teman dunia kerja yang
menemani keseharian sangat beragam sikapnya yang kadang bikin geram dan
geleng-geleng sendiri. Masalah antarindividu dan keprofesionalan sudah menjadi
makanan hampir setiap hari. Tidak ada yang dapat benar-benar dipercaya untuk menjadi
wadah curahan hati mengenai apa yang sebenarnya dirasakan karena begitu mulut
mengeluarkan kata-kata, esoknya rintik kebencian akan menghujani seisi dunia. Tidak
lupa pula ditambah cabai dan garam sebagai bumbu cerita.
Sekarang aku sedang dalam tahap
mencari pekerjaan. Aku sudah mulai apply ke beberapa instansi. Ada perasaan
takut apabila aku diterima bekerja nanti. Takut akan lingkungan baru, takut
akan kemampuan diri sendiri, dan takut akan segala hal yang belum tentu akan
terjadi. Akan tetapi aku lebih takut apabila aku tidak diterima bekerja. Apa yang
akan aku lakukan apabila itu terjadi? Pikiranku bercabang dan aku sempat
berdiam diri di kamar seharian memikirkan hidup. Hanya diam, bengong, dan
sesekali menangis tanpa alasan.
Aku sadar, usia ini adalah
masa-masa sulit dimana kita harus belajar mandiri untuk menyikapi diri sendiri
dengan tegas. Segala yang terjadi di dalam hidup kita adalah pelajaran menuju
pendewasaan. Aku sadar aku masih terlalu payah dalam menjalani hidup ini. Aku
masih tertatih-tatih dalam mencari makna dari setiap kejadian. Aku masih sangat
jauh dari kata ikhlas. Mungkin yang bisa aku lakukan adalah berdamai dengan
keadaan. Meski tidak akan dengan mudah memperbaiki keadaan, setidaknya hati sedikit
adem. Mamah selalu menasehati agar aku tidak lupa melaksanakan shalat di
sepertiga akhir malam dan shalat dhuha. Have
i completely in peace? BIG NO.... aku tetap harus berhadapan dengan dunia
yang rungsing bin jelimet. Namun
setidaknya aku dapat menemukan titik teduh yang akan mempersiapkanku untuk
menghadapi kehidupan di depan.
Tidak terasa aku akan
menginjakkan usia 25 tahun 10 bulan lagi. Usia yang tidak bisa dibilang lagi sebagai
usia remaja lagi menurut definisi manapun. Ujian yang akan datang pastilah akan
semakin kompleks dan beragam. Aku masih butuh banyak belajar, terutama belajar
untuk melepaskan energi-enegi negatif yang kerap hinggap di setiap perjalanan
perjalananku menuju dewasa. Kalau bukan aku yang menata hidupku sendiri siapa
lagi?
Terimakasih yang sudah membaca. Mohon
maaf apabila isinya tidak karuan..
Dari yang sedang dalam kegelisahan,
Vera Dianwari