Almost A Quarter of Century

by - Maret 01, 2019



Menurut BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana), rentang usia remaja adalah usia 10-24 tahun. Usiaku sekarang adalah 24, yang artinya tahun ini adalah tahun terakhirku menjadi seorang remaja. Akan tetapi di Indonesia banyak angapan bahwa rentang usia remaja berakhir ketika mereka sudah lulus SMA alias usia 18 tahun. Hal ini didukung oleh Peraturan Kesehatan RI no 25 tahun 2014 yang menyatakan bahwa remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Usia 24 di Indonesia bukanlah usia yang bisa dianggap muda lagi. Orang-orang sudah mulai bertanya kapan kerja, kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, kapan punya rumah, dan semua pertanyaan rungsing dewasa lainnya. Hai, aku masih remaja!!!

Bosan rasanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang. Kadang mereka datang dengan nada perhatian, nada kasian, nada memberi semangat, dan tentu saja ada juga yang datang dengan nada merendahkan seperti “kamu udah usia segini belum bisa ngasih ke orangtua? Kerjaan kamu kan dokter.. dokter kan gede gajinya..” Rata-rata pertanyaan merendahkan itu datang dari kalangan non medis yang kuliahnya relatif singkat hanya 3-4 tahun saja. Orang-orang yang berasal dari kalangan medis biasanya lebih mengerti kalau sekolah di dunia kesehatan itu tidak mudah. Butuh minimal 7 tahun untuk bisa bekerja mandiri (Sekolah sarjana 3,5 tahun, pendidikan profesi 1,5 tahun, nunggu internship 7 bulan, internship 1 tahun, nunggu berkas-berkas 1-2 bulan, dan bulan-bulan lain yang dilalui saat menunggu ketidakpastian). Apakah aku masih minta uang sama orangtua? ENGGAK. Selepas pendidikan profesi aku sudah tidak bergantung lagi pada orangtua. Aku mencari penghasilan sendiri dengan cara menjadi asisten pendidikan untuk residen (dokter yang sedang sekolah spesialis), menjadi penerjemah, menjual bingkisan wisuda, dan usaha-usaha lainnya. Namun ya penghasilannya pun angin-anginan. Kadang ada kadang enggak jadi memang belum bisa memberikan uang rutin untuk orangtua seperti lulusan-lulusan lainnya. Uang yang sudah ditabung pun lama-lama terkeruk dengan sendirinya seiring dengan kebutuhan yang selalu ada.

Di usia hampir seperempat abad ini pun banyak yang membuat gelisah tidak menentu, berpikir berlebihan kesana-kemari, hingga lupa bahwa kehidupan sebenarnya harus terus dijalani. Salah satunya adalah perkara hati. Bab yang pasti dimiliki semua orang di buku kehidupannya. Banyak yang  datang dan pergi sesuka hati hingga hati ini menjadi merasa bodo amat dan kurang peka. Banyak pula janji-janji yang hanya sekedar hitut melepes tina bujur embe. Sabodo teuing ah..... (padahal terus aja kepikiran). Kadang masih sulit untuk mengambil langkah tegas dalam hal ini. Alih-alih menimbulkan pemikiran positif, yang ada malah denial berkepanjangan. Iya, berpikiran positif dan denial memang beda tipis. Namun semuanya butuh waktu toh?




Kehidupan sosial pun ikut menjadi beban tersendiri. Teman-teman yang dahulu dekat kini mulai menjauh karena tentunya mereka memiliki mimpi masing-masing. Bertemu menjadi hal yang sulit bahkan meski rumah kami hanya beda 1 gang saja. Teman-teman dunia kerja yang menemani keseharian sangat beragam sikapnya yang kadang bikin geram dan geleng-geleng sendiri. Masalah antarindividu dan keprofesionalan sudah menjadi makanan hampir setiap hari. Tidak ada yang dapat benar-benar dipercaya untuk menjadi wadah curahan hati mengenai apa yang sebenarnya dirasakan karena begitu mulut mengeluarkan kata-kata, esoknya rintik kebencian akan menghujani seisi dunia. Tidak lupa pula ditambah cabai dan garam sebagai bumbu cerita.

Sekarang aku sedang dalam tahap mencari pekerjaan. Aku sudah mulai apply ke beberapa instansi. Ada perasaan takut apabila aku diterima bekerja nanti. Takut akan lingkungan baru, takut akan kemampuan diri sendiri, dan takut akan segala hal yang belum tentu akan terjadi. Akan tetapi aku lebih takut apabila aku tidak diterima bekerja. Apa yang akan aku lakukan apabila itu terjadi? Pikiranku bercabang dan aku sempat berdiam diri di kamar seharian memikirkan hidup. Hanya diam, bengong, dan sesekali menangis tanpa alasan.

Aku sadar, usia ini adalah masa-masa sulit dimana kita harus belajar mandiri untuk menyikapi diri sendiri dengan tegas. Segala yang terjadi di dalam hidup kita adalah pelajaran menuju pendewasaan. Aku sadar aku masih terlalu payah dalam menjalani hidup ini. Aku masih tertatih-tatih dalam mencari makna dari setiap kejadian. Aku masih sangat jauh dari kata ikhlas. Mungkin yang bisa aku lakukan adalah berdamai dengan keadaan. Meski tidak akan dengan mudah memperbaiki keadaan, setidaknya hati sedikit adem. Mamah selalu menasehati agar aku tidak lupa melaksanakan shalat di sepertiga akhir malam dan shalat dhuha. Have i completely in peace? BIG NO.... aku tetap harus berhadapan dengan dunia yang rungsing bin jelimet. Namun setidaknya aku dapat menemukan titik teduh yang akan mempersiapkanku untuk menghadapi kehidupan di depan.

Tidak terasa aku akan menginjakkan usia 25 tahun 10 bulan lagi. Usia yang tidak bisa dibilang lagi sebagai usia remaja lagi menurut definisi manapun. Ujian yang akan datang pastilah akan semakin kompleks dan beragam. Aku masih butuh banyak belajar, terutama belajar untuk melepaskan energi-enegi negatif yang kerap hinggap di setiap perjalanan perjalananku menuju dewasa. Kalau bukan aku yang menata hidupku sendiri siapa lagi?



Bandung, 2 Maret 2019



Terimakasih yang sudah membaca. Mohon maaf apabila isinya tidak karuan..
Dari yang sedang dalam kegelisahan,
Vera Dianwari

You May Also Like

0 comments