Hari ke-2 kami memutuskan untuk
sarapan di penginapan. Tadinya ingin icip-icip jajanan pagi di Malioboro tapi
karena keburu lapar jadinya kami makan dulu di penginapan. Di Omah Pugeran ini
sarapan yang disediakan adalah Roti panggang dan telor orak-arik. Yaa pokoknya
sarapan ala bule bule gitu. Aku sih merasa kurang kenyang soalnya biasa makan
nasi hahaa.. tapi disini tidak tersedia nasi. Akhirnya di jalan kami beli
camilan extra untuk ganjal perut sebelum makan siang.
Destinasi pertama kami adalah
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kami mulai menjelajah ke komplek depan
keraton. Saat kami datang, keraton masih agak sepi karena sedikit sekali
pengunjung yang datang. Tiket masuknya adalah Rp5.000,00. Dan izin berfoto
Rp2.000,00. Awalnya kami mau menyewa guide namun karena di pintu masuk kami
sudah mendapatkan pamflet yang ternyata isinya adalah segala informasi mengenai
bangunan keraton depan maka kami tidak jadi sewa guide. Tapi aku merasa kayanya
bakalan lebih asik kalau ada guide jadi kita fokus melihat-lihat sambil
mendengar penjelasan, daripada sibuk membaca kertas. Pada saat ada rombongan
bule yang mendengarkan penjelasan daru guide, aku biasanya ikut-ikutan denger,
haha... Di komplek depan ini kita bisa melihat diorama yang isinya patung
menggunakan busana khas Yogyakarta baik itu anak-anak, remaja, dewasa, dan lainnya
di berbagai kondisi dan acara. Menurutku patung-patung ini agak kurang terawat
karena debu-debu nampak nyata adanya. Kemudian kita bisa melihat mobil-mobil
sultan yang biasa dipakai untuk berjalan-jalan. Untuk bagian indoor aku dan
keluarga disuguhkan alat musik gamelan yang dipajang. Di sebelahnya ada
kumpulan foto sultan dari Hamengkubuwono pertama. Dari situ aku baru tau kalau
gelar masing-masing sultan itu sangaaaaaaaaaaaat panjang. Kayanya kalau jaman
dulu ada ujian nasional susah banget tulis namanya di kertas ujian hingga pensilnya
sudah tumpul duluan untuk menulis nama.
Puas melihat pembacaan puisi (yang aku juga sebenernya gak paham arti dari puisinya haha) kami melanjutkan jelajah keraton. Di sini kita bisa melihat barang-barang peninggalan kerajaan. Entah itu barang dapur, kursi, meja, kain batik, guci, alat tulis, dan maaaasih banyak lagi. Yang paling mencuri perhatianku adalah foto foto dan kisah hidup sultan. Ternyata Sultan itu pas masih muda ganteng banget hehee... Beberapa benda yang dipamerkan masih dalam keadaan baik namun beberapa tidak dalam keadaan baik dengan debu dimana-mana. Sungguh disayangkan menurutku. Di sudut keraton yang lain terdapat kumpulan ibu-ibu yang sedang membuat batik. Aku hanya melihat dari dekat saja karena tidak mau mengganggu konsentrasi mereka dalam membatik. Kukira memang seharusnya seperti itu, namun ternyata kita bisa mencoba membatik juga. Diajarin loh! Aku gak ikutan soalnya antrian sudah terlanjur panjang dan aku lebih tertarik untuk menjelajah isi keraton yang tersisa sebelum keraton tutup.
Jam sudah menunjukkan pukul
11.00. Bapak langsung melesat ke masjid Gedhe Kasultanan duluan karena mau
shalat Jumat. Aku, adik, mamah, dan emak ngaso dulu di depan museum kereta.
Tadinya kami mau masuk tapi kami kabita ada baso yang dijual di depan museum
jadinya kami ngebaso terlebih dahulu. Saat jam menunjukkan pukul 12.00 kami
menyusul bapak ke masjid. Setelah para laki-laki selesai shalat Jumat kini
giliran wanita yang shalat. Interior masjid ini masyaAllah bagus banget. Tiang di
bagian dalam bangunan terbuat dari kayu jati yang kokoh dan menjulang menyokong
bangunan. Betah deh pokoknya kalau di dalam masjid lama-lama. Oh iya bagi yang
ingin minum jamu dingin, di depan masjid ada yang jual es beras kencur, es
kunyit asam, dan berbagai jamu lainnya yang diberi es. Harganya cukup
terjangkau, hanya Rp5.000,00 saja.
Perjalanan dilanjutkan dengan
berjalan kaki ke museum Sonobudoyo. Museum Sonobudoyo ini sebenarnya ada dua
cabang, dan aku memilih cabang yang dekat dengan Masjid Gedhe. Tiket masuk
museum Sonobudoyo ini cukup murah, yakni Rp3.000,00. Saja dan tanpa harus bayar
izin berfoto tentunya. Saat masuk kita akan disambut oleh gamelan salendro
pelog yang mengeluarkan bunyi sendiri saat sensornya mendeteksi ada yang lewat.
Selanjutnya kami disuguhkan ruang pengenalan yang menyajikan pajangan tempat
tidur lengkap dengan kelambu serta barang barang lainnya yang khas sekali
berbau tradisional Jawa. Di ruangan setelahnya ada ruangan prasejarah berisi
koleksi benda prasejarah berikut cerita mengenai apa yang terjadi pada jaman
tersebut. Disini juga ada replika kerangka tulang manusia loh! Di ruang ruang
berikutnya kita bisa mendapatkan informasi mengenai sistem sosial, agama, seni,
bahasa dan lainnya. Kami tiak terlalu lama menjelajah museum ini karena
museumnya sudah mau tutup. Jika kalian sangat suka sejarah, museum Sonobudoyo
merupakan pilihan tepat untuk dikunjungi.
Sedih karena tidak bisa kaffah
dan haqiqi dalam menjelajah museum sonobudoyo. Namun kesedihan itu tidak
menyurutkan semangat dalam menjelajahi kota Yogyakarta. Kami melanjutkan
perjalanan ke The House of Raminten karena bapak sudah lapar. Alhamdulillah
pada saat kami ke sana restoran dalam keadaan tidak terlalu ramai sehingga kami
bisa cepat mendapatkan tempat duduk. Kalaupun masuk daftar waiting list, kita
bisa menunggu di bagian luar sambil duduk manis. Di situ juga ada kulkas berisi
minuman yang bisa kita beli untuk melegakan dahaga sebelum masuk ke bagian
dalam rumah makan. Ada banyak yang unik dari restoran ini. Ketika masuk kita
disambut oleh bau dupa yang aak menyengat. Agak merinding sih waktu pertama
kali datang. Apalagi musik yang diputar kaya di kondangan adat jawa yang bikin
merinding. Sungguh, untung datang kesini gak pas malam. Pegawai-pegawainya
berseragam pakaian tradisional. Untuk pegawai wanita mereka berseragamkan kain
kemben dan pria pake batik tapi ada rompinya. Wow, unik sekali. Makanan yang
ditawarkan sangat beragam dan harganya bisa dibilang cukup murah dengan porsi
yang luar biasa jumbo alaihim gambreng. Tapi namanya juga Vera, yang kalau lapar
susah mikir jadinya begitu makanan datang aku langsung melahap makanan tersebut
tanpa difoto dulu.
Kenyang makan di Raminten, kami
akhirnya pulang ke penginapan. Kami harus bersiap-siap berangkat ke Mandira
Bruga untuk menonton pertunjukan sendratari Ramayana. Awalnya aku galau apakah
aku harus reservasi via traveloka atau langsung datang saja. Untungnya aku
sempat kepo instagram @ramayanaballetpurawisata dan menemukan harga istimewa
yang jauh lebih murah dibanding traveloka. Harga asli menonton sendratari di
Mandira Bruga adalah Rp110.000,00. Apabila kita memesan langsung/via telepon
kita mendapatkan harga Rp85.000,00 saja. Nah ada best deal lagi jika yang
menonton adalah pelajar/mahasiswa, hanya kena harga Rp60.000,00 dong!! Aku
sangat bersyukur tidak jadi pesan di traveloka wkwkkkk... dengan harga segitu,
kita sudah mendapatkan naskah sendratari (ada banyak bahasa dan kita bebas
memilih) dan sebotol air mineral. Sebenarnya jika ingin makan malam di area
Mandira Bruga juga bisa sih namun nambah biayanya lebih mahal lagi. Aku kan
anaknya kopet bin medit, jadi makan malamnya lebih baik di luar saja.
Sebenarnya jika kita ingin pengalaman yang lebih menarik, kita bisa juga
menonton sendratari ini di Candi Prambanan dengan latar langit Yogyakarta dan
Candi-candi. Sayangnya khusus di musim hujan pertunjukan dilakukan indoor. Jadi
ya intinya mah sama saja kaya nonton di Purawisata.
Sendratari yang berlangsung
selama 1,5 jam ini menceritakan kisah cinta Rama dan Shinta. Kisahnya dibungkus
secara menarik dengan tarian-tarian dan beberapa adegan berbahaya yang
menggunakan api. Ada baiknya apabila kita sudah membawa naskah sinopsis yang dibagikan
di pintu masuk sebelum menonton supaya mengerti maksud dari sendratari yang
disajikan karena sepanjang pertunjukan kita hanya dapat mendengar suara bahasa
Jawa dari sang sinden. Di akhir pertunjukan pengunjung dipersilahkan berfoto
ria dengan para penari.
Silahkan klik #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya