Conversations with Myself #1
It is just so hard to say let it be...
Manusia diciptakan oleh Tuhan
sudah diberi akal sehat dan berbagai kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
Sudah sepantasnya kita sebagai manusia tersebut bersyukur akan hal tersebut.
Yang lebih penting lagi harus ikhlas menerima segala sesuatu yang telah Allah
tuliskan di buku takdir, Lauful Mahfudz. Ada banyak hal yang ditulis di
dalamnya, termasuk rezeki dan jodoh. Beberapa tahun ini, setiap awal tahun, aku
selalu merasakan gejolak tidak biasa. Aku selalu diberi harapan yang memang
selalu aku impikan.
“Allah sesuai dengan prasangka
umatnya.” Itulah yang aku percayai bahkan sampai awal tahun ini hingga mungkin
sudah di luar akal sehat saking kuatnya prasangka yang tertanam dalam otak. Semuanya tampak nyata dan rasanya tinggal sejengkal
lagi untuk meraihnya. Diiringi doa dan amalan-amalan yang diharapkan akan
membantu memperpendek jarak yang sisa sejengkal tersebut, hatiku menggebu-gebu
untuk menggenggam mimpi yang sudah diyakini. Sayangnya itu hanya sekedar mimpi.
Nampaknya Allah tidak sesuai dengan prasangka umatNya yang satu ini. Terkadang
aku berpikir, apakah aku Umat terbuang? Apa salah dan dosaku? Orang bilang ini
ujian dan sebagai umatNya yang beriman sehingga aku harus ikhlas. Mudah sekali
mengucapkan ikhlas, namun sungguh sangatlah sulit menjalaninya.
Lihatlah biji kacang hijau yang
selalu disirami harapan hingga menjadi pohon toge rapuh. Serapuh-rapuhnya pohon
toge, ia ikhlas dijadikan apa saja. Dijadikan bahan penelitian anak-anak
sekolah yang akhirnya dibuang ke tempat sampah setelah jam pelajaran usai,
dijadikan isian gehu, dijadikan isian lumpia, atau bahkan dijadikan tumisan di
dapur oleh ibu. Sayangnya aku bukan si rapuh pohon toge. Aku hanyalah manusia
yang pura-pura kuat di depan khalayak. Untuk mengalihkan rasa kecewa, melemparkan cuitan di media sosial adalah hal
yang biasa, yang akhirnya aku hapus karena rasanya bukan untuk konsumsi publik.
Atau bahkan aku biarkan cuitan tersebut terbang di dunia maya hingga akhirnya
terlupakan. Aku, dan bahkan mungkin jutaan manusia-manusia di luar sana hanya
bisa makan, tidur, atau jalan-jalan dengan dalih healing. Berharap setelahnya dapat lebih ikhlas, namun faktanya
tidak. Alih-alih perasaan menjadi lebih baik, yang ada kekecewaan terekam ulang
di dalam otak ketika selesai healing.
Tahun 2022 baru saja dimulai. Aku
memulai lembaran baru di tahun ini lagi-lagi dengan pelajaran bernama IKHLAS.
Sedikitnya, dengan menulis aku dapat mengurai beberapa perasaan yang menyesakan
dada. Masih terasa sesak, memang. Karena benar adanya bahwa ikhlas itu sulit.
0 comments