facebook google twitter tumblr instagram linkedin

Pages

  • Beranda
  • Travelling
  • Poetry
  • Tales
  • Life Machine
  • Self Care

The Praraous

Hari ke-2 kami memutuskan untuk sarapan di penginapan. Tadinya ingin icip-icip jajanan pagi di Malioboro tapi karena keburu lapar jadinya kami makan dulu di penginapan. Di Omah Pugeran ini sarapan yang disediakan adalah Roti panggang dan telor orak-arik. Yaa pokoknya sarapan ala bule bule gitu. Aku sih merasa kurang kenyang soalnya biasa makan nasi hahaa.. tapi disini tidak tersedia nasi. Akhirnya di jalan kami beli camilan extra untuk ganjal perut sebelum makan siang.

Destinasi pertama kami adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kami mulai menjelajah ke komplek depan keraton. Saat kami datang, keraton masih agak sepi karena sedikit sekali pengunjung yang datang. Tiket masuknya adalah Rp5.000,00. Dan izin berfoto Rp2.000,00. Awalnya kami mau menyewa guide namun karena di pintu masuk kami sudah mendapatkan pamflet yang ternyata isinya adalah segala informasi mengenai bangunan keraton depan maka kami tidak jadi sewa guide. Tapi aku merasa kayanya bakalan lebih asik kalau ada guide jadi kita fokus melihat-lihat sambil mendengar penjelasan, daripada sibuk membaca kertas. Pada saat ada rombongan bule yang mendengarkan penjelasan daru guide, aku biasanya ikut-ikutan denger, haha... Di komplek depan ini kita bisa melihat diorama yang isinya patung menggunakan busana khas Yogyakarta baik itu anak-anak, remaja, dewasa, dan lainnya di berbagai kondisi dan acara. Menurutku patung-patung ini agak kurang terawat karena debu-debu nampak nyata adanya. Kemudian kita bisa melihat mobil-mobil sultan yang biasa dipakai untuk berjalan-jalan. Untuk bagian indoor aku dan keluarga disuguhkan alat musik gamelan yang dipajang. Di sebelahnya ada kumpulan foto sultan dari Hamengkubuwono pertama. Dari situ aku baru tau kalau gelar masing-masing sultan itu sangaaaaaaaaaaaat panjang. Kayanya kalau jaman dulu ada ujian nasional susah banget tulis namanya di kertas ujian hingga pensilnya sudah tumpul duluan untuk menulis nama.

Selesai menjelajah komplek depan, kami langsung menuju ke komplek belakang. Untuk biaya masuknya Rp8.000,00. Lagi-lagi aku tidak menyewa jasa tour guide karena aku lihat ada banyak sekali orang bule dan rombongan anak SD yang sudah menyewa tour guide. Jadi aku ngikut rombongan mereka deh (Anaknya gak mau rugi). Untuk komplek belakang ini menurutku lebih seru karena pada saat masuk kami disambut oleh mocopat atau pembacaan puisi. Nah jadi, di keraton bagian belakang ini rutin diadakan pentas yang setiap hari berbeda-beda. Hari Selasa ada pagelaran uyon-uyon, Rabu pagelaran wayang golek, Kamis pagelaran wayang kulit, sementara Sabtu dan Minggu pagelaran wayang wong.

Puas melihat pembacaan puisi (yang aku juga sebenernya gak paham arti dari puisinya haha) kami melanjutkan jelajah keraton. Di sini kita bisa melihat barang-barang peninggalan kerajaan. Entah itu barang dapur, kursi, meja, kain batik, guci, alat tulis, dan maaaasih banyak lagi. Yang paling mencuri perhatianku adalah foto foto dan kisah hidup sultan. Ternyata Sultan itu pas masih muda ganteng banget hehee... Beberapa benda yang dipamerkan masih dalam keadaan baik namun beberapa tidak dalam keadaan baik dengan debu dimana-mana. Sungguh disayangkan menurutku. Di sudut keraton yang lain terdapat kumpulan ibu-ibu yang sedang membuat batik. Aku hanya melihat dari dekat saja karena tidak mau mengganggu konsentrasi mereka dalam membatik. Kukira memang seharusnya seperti itu, namun ternyata kita bisa mencoba membatik juga. Diajarin loh! Aku gak ikutan soalnya antrian sudah terlanjur panjang dan aku lebih tertarik untuk menjelajah isi keraton yang tersisa sebelum keraton tutup.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Bapak langsung melesat ke masjid Gedhe Kasultanan duluan karena mau shalat Jumat. Aku, adik, mamah, dan emak ngaso dulu di depan museum kereta. Tadinya kami mau masuk tapi kami kabita ada baso yang dijual di depan museum jadinya kami ngebaso terlebih dahulu. Saat jam menunjukkan pukul 12.00 kami menyusul bapak ke masjid. Setelah para laki-laki selesai shalat Jumat kini giliran wanita yang shalat. Interior masjid ini masyaAllah bagus banget. Tiang di bagian dalam bangunan terbuat dari kayu jati yang kokoh dan menjulang menyokong bangunan. Betah deh pokoknya kalau di dalam masjid lama-lama. Oh iya bagi yang ingin minum jamu dingin, di depan masjid ada yang jual es beras kencur, es kunyit asam, dan berbagai jamu lainnya yang diberi es. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp5.000,00 saja.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke museum Sonobudoyo. Museum Sonobudoyo ini sebenarnya ada dua cabang, dan aku memilih cabang yang dekat dengan Masjid Gedhe. Tiket masuk museum Sonobudoyo ini cukup murah, yakni Rp3.000,00. Saja dan tanpa harus bayar izin berfoto tentunya. Saat masuk kita akan disambut oleh gamelan salendro pelog yang mengeluarkan bunyi sendiri saat sensornya mendeteksi ada yang lewat. Selanjutnya kami disuguhkan ruang pengenalan yang menyajikan pajangan tempat tidur lengkap dengan kelambu serta barang barang lainnya yang khas sekali berbau tradisional Jawa. Di ruangan setelahnya ada ruangan prasejarah berisi koleksi benda prasejarah berikut cerita mengenai apa yang terjadi pada jaman tersebut. Disini juga ada replika kerangka tulang manusia loh! Di ruang ruang berikutnya kita bisa mendapatkan informasi mengenai sistem sosial, agama, seni, bahasa dan lainnya. Kami tiak terlalu lama menjelajah museum ini karena museumnya sudah mau tutup. Jika kalian sangat suka sejarah, museum Sonobudoyo merupakan pilihan tepat untuk dikunjungi.

Sedih karena tidak bisa kaffah dan haqiqi dalam menjelajah museum sonobudoyo. Namun kesedihan itu tidak menyurutkan semangat dalam menjelajahi kota Yogyakarta. Kami melanjutkan perjalanan ke The House of Raminten karena bapak sudah lapar. Alhamdulillah pada saat kami ke sana restoran dalam keadaan tidak terlalu ramai sehingga kami bisa cepat mendapatkan tempat duduk. Kalaupun masuk daftar waiting list, kita bisa menunggu di bagian luar sambil duduk manis. Di situ juga ada kulkas berisi minuman yang bisa kita beli untuk melegakan dahaga sebelum masuk ke bagian dalam rumah makan. Ada banyak yang unik dari restoran ini. Ketika masuk kita disambut oleh bau dupa yang aak menyengat. Agak merinding sih waktu pertama kali datang. Apalagi musik yang diputar kaya di kondangan adat jawa yang bikin merinding. Sungguh, untung datang kesini gak pas malam. Pegawai-pegawainya berseragam pakaian tradisional. Untuk pegawai wanita mereka berseragamkan kain kemben dan pria pake batik tapi ada rompinya. Wow, unik sekali. Makanan yang ditawarkan sangat beragam dan harganya bisa dibilang cukup murah dengan porsi yang luar biasa jumbo alaihim gambreng. Tapi namanya juga Vera, yang kalau lapar susah mikir jadinya begitu makanan datang aku langsung melahap makanan tersebut tanpa difoto dulu.

Kenyang makan di Raminten, kami akhirnya pulang ke penginapan. Kami harus bersiap-siap berangkat ke Mandira Bruga untuk menonton pertunjukan sendratari Ramayana. Awalnya aku galau apakah aku harus reservasi via traveloka atau langsung datang saja. Untungnya aku sempat kepo instagram @ramayanaballetpurawisata dan menemukan harga istimewa yang jauh lebih murah dibanding traveloka. Harga asli menonton sendratari di Mandira Bruga adalah Rp110.000,00. Apabila kita memesan langsung/via telepon kita mendapatkan harga Rp85.000,00 saja. Nah ada best deal lagi jika yang menonton adalah pelajar/mahasiswa, hanya kena harga Rp60.000,00 dong!! Aku sangat bersyukur tidak jadi pesan di traveloka wkwkkkk... dengan harga segitu, kita sudah mendapatkan naskah sendratari (ada banyak bahasa dan kita bebas memilih) dan sebotol air mineral. Sebenarnya jika ingin makan malam di area Mandira Bruga juga bisa sih namun nambah biayanya lebih mahal lagi. Aku kan anaknya kopet bin medit, jadi makan malamnya lebih baik di luar saja. Sebenarnya jika kita ingin pengalaman yang lebih menarik, kita bisa juga menonton sendratari ini di Candi Prambanan dengan latar langit Yogyakarta dan Candi-candi. Sayangnya khusus di musim hujan pertunjukan dilakukan indoor. Jadi ya intinya mah sama saja kaya nonton di Purawisata.

Sendratari yang berlangsung selama 1,5 jam ini menceritakan kisah cinta Rama dan Shinta. Kisahnya dibungkus secara menarik dengan tarian-tarian dan beberapa adegan berbahaya yang menggunakan api. Ada baiknya apabila kita sudah membawa naskah sinopsis yang dibagikan di pintu masuk sebelum menonton supaya mengerti maksud dari sendratari yang disajikan karena sepanjang pertunjukan kita hanya dapat mendengar suara bahasa Jawa dari sang sinden. Di akhir pertunjukan pengunjung dipersilahkan berfoto ria dengan para penari.



Silahkan klik #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya

Maret 29, 2020 No comments

Siapa yang tidak tahu Daerah Istimewa Yogyakarta? Salah satu destinasi pilihan di Indonesia yang menawarkan berjuta pesona yang memanjakan para turis, baik lokal maupun mancanegara. Kebetulan aku sedang mendapatkan libur panjang dari tempatku bekerja sehingga aku memutuskan mengunjungi Yogyakarta bersama keluarga.

Aku pergi ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api Lodaya. Aku dan keluarga sampai di Yogyakarta dini hari. Sembari menunggu matahari terbit, kami shalat dan cuci muka di Mushola Stasiun Tugu. Musholanya cukup bersih dan nyaman apalagi apabila kita datang lebih cepat sebelum adzan berkumandang. Air yang digunakan untuk berwudhu pun bersih dan segar. Jika kita tidak membawa mukena disana disediakan juga mukena untuk dipinjamkan, tapi ya harus gantian dengan pengunjung lain. 
Foto wajib begitu sampai di Yogyakarta
Setelah shalat subuh, cuci muka, dan dandan seadanya, kami langsung melesat ke Soto Ayam Lenthok Pak Gareng dengan wajah caludih yang letaknya dekat pintu stasiun utara. Saat kami datang, kedai sotonya masih sepi karena gerobaknya belum datang. Di sana hanya ada beberapa pegawai yang bersih-bersih meja dan kursi. Beberapa pegawai adayang mulai menghidangkan camilan di tiap meja sehingga kami bisa memilih tempat duduk yang nyaman dan menikmati camilan yang sudah disediakan seperti sate usus, sate puyuh, perkedel, gorengan, dan lain sebagainya. Soto Pak Gareng ini cukup terkenal di Yogyakarta. Menurut beberapa blog yang aku baca, tempat ini adalah destinasi wajib bagi turis yang baru datang ke Yogyakarta di pagi hari atau yang akan pulang ke tempat masing-masing menggunakan kereta. Alhamdulillah aku dan keluarga sudah mendapatkan tempat duduk di kedai karena tak lama setelah kedai buka banyak sekali orang berdatangan ke kedai pak Gareng ini. Untuk harga menurutku cukup terjangkau, yakni Rp11.000,00 saja. Kalau mau tambah sate kita cuma nambah Rp3.0000,00 saja. Cukup terjangkau kan?
Cuma bisa fotoin tempatnya aja, karena makannya udah keburu habis saking laparnya
Perut sudah terisi, kini saatnya ke penginapan untuk menyimpan koper dan tas besar. Aku dan keluarga menginap di Omah Pugeran yang terletak di belakang SMAN 7 Yogyakarta. Sebenarnya kami ingin menginap di penginapan di dekat Malioboro supaya gampang kemana-mana namun sayangnya kamar yang tersedia sudah habis dan penginapan ini adalah penginapan yang jaraknya paling dekat dan masih tersedia. Tentunya dengan harga yang murah juga. Kami bertemu dengan penjaga penginapan yang cukup ramah. Kami dipersilahkan untuk duduk duduk santai terlebih dahulu dan minum teh/kopi (tapi bikin sendiri). Kami tidak lama duduk santai di penginapan karena kami hendak mengunjungi Tamansari yang letaknya tidak jauh dari penginapan.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 07.00, namun beberapa warga lokal yang kami temui di jalan bilang kami bisa melihat-lihat bangunan sekitar Tamansari dalam keadaan sepi dan berfoto-ria dengan sepuasnya apabila datang lebih pagi. Hanya butuh kurang lebih 10 menit berjalan kaki dari penginapan, kami sampai di pintu masuk Tamansari. Saat sampai kami disambut oleh warga lokal bernama Pak Adi. Pak Adi menawarkan jasanya untuk mengajak kami berkeliling sebelum Tamansari dibuka. Tanpa berpikir panjang kami mengiyakan tawaran Pak Adi tersebut. Pak Adi ini adalah seorang abdi dalem keraton yang berdinas shift siang. Pagi-pagi sebelum bertugas biasanya Pak Adi berprofesi sebagi tourguide di daerah Tamansari karena kebetulan rumahnya pun masih di komplek Tamansari. Pak Adi mengajak kami berkeliling ke area dapur kerajaan, kamar sultan, area sambung ayam, area tempat shooting ‘Mak Lampir’, sumur harapan, kampung digital, terowongan, dan maaaaasih banyak lagi. Tidak lupa pula Pak Adi bercerita tentang bangunan-bangunan yang kami lewati. Pak Adi juga sabar sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami tanyakan meskipun pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh, hahaaa. Kalau ada spot foto bagus, ia langsung menawarkan diri untuk menjadi photografer. Hasilnya? Woooh oke banget. Katanya dia udah sering diminta mengambil foto sehingga sudah hapal mana spot-spot foto dan gaya yang bagus. Sepanjang perjalanan Pak Adi menyapa para warga yang sebagian besar merupakan para abdi dalem juga. Para abdi dalem ini ternyata diberi rumah kontrakan oleh Sultan dengan harga yang sangat terjangkau, yakni hanya Rp5.000,00 per tahun untuk rumah kecil dan Rp10.000,00 untuk rumah yang agak besar. Iya, kamu gak salah baca kok... LIMA RIBU RUPIAH PER TAHUN. Aku juga awalnya berpikir harga yang ditawarkan itu untuk sewa satu bulan atau satu minggu, tapi yaaa memang semurah ituuuuu..
Tempat shooting Mak Lampir

Hasil jepretan Pak Adi
Terowongan Tamansari
Salah satu mural di kampung digital

Muka lelah gempor diajak jalan-jalan tapi Pak Adi maksa foto
"Ayok foto dulu yok mungpun sepi" kata Pak Adi
Di tengah perjalanan kami diajak ke rumah teman Pak Adi untuk melihat-lihat batik tulis buatan salah satu abdi dalem. Aku dan keluarga tidak beli sih, tapi di akhir perjalanan liburan, kami agak menyesal tidak beli karena ternyata batiknya bagus banget dan cukup murah dengan kualitas yang oke punya. Oh iya saat tour juga kami diajak naik ke salah satu genteng warga (yang mepet sama tembok Tamansari) untuk melihat isi Tamansari dari atas. Pak Adi bilang “Sebenernya tiket Tamasari itu dibeli supaya kita bisa lihat kolam dari jarak dekat dan sumur Gumuling, seperti yang kita lihat dari atas sini sih.. sama percis! Mending uang jenengan dipake buat jajan yang lain aja.”
Batik tulis buatan abdi dalem yang tinggal di dekat Tamansari
Di akhir tour, Pak Adi mengajak kami ke rumahnya yang pintunya terbuka (pintu terbuka artinya abdi dalem empunya rumah hendak tugas shift siang, kalau pintu tertutup artinya lagi tugas pagi). Kami diajak melihat lukisan-lukisan karya tangan Pak Adi yang wwooooooow bagus banget sungguh!! Tapi Pak Adi tidak memaksa kami membeli seperti kebanyakan tourguide dan tidak membuat kami merasa tidak nyaman.
Bagian depan rumah Pak Adi dipakai sebagai galeri lukis
Total perjalanan kami bersama Pak Adi adalah 1,5 jam dan kami sangat puas!! Aku sudah googling harga pasaran tourguide Yogyakarta berapa dan sebenernya sih standarnya Rp25.000,00-Rp30.000,00. Tapi aku memberi uang Rp50.000,00 untuk jasanya karena 1,5 jam itu cape coy!! Apalagi dengan kebaikannya yang luar biasa dan mulutnya yang komat-kamit menjelaskan segala hal padaku dan keluarga dengan semangatnya.

Tepat pukul 09.00, ticketing Tamansari dibuka. Karena aku dan keluarga adalah turis yang penasaran jadinya tetep aja beli tiket untuk masuk Tamansari hahaa. Untuk harga tiket satu orang harus membayar Rp5.000,00. Apabila kita membawa kamera atau hendak berfoto dengan kamera handphone maka diwajibkan untuk membayar izin berfoto seharga Rp3.000,00. Sesuai keterangan Pak Adi, kami memang hanya melihat kolam dan bangunan yang mirip-mirip dengan bangunan yang kami singgahi bersama Pak Adi. Tapi ya lihat kolamnya juga dari jarak dekat tentunya. Satu-satunya yang bikin kami penasaran saat masuk ke area Tamansari adalah sumur Gumuling. Pada saat kami kesana ribuan orang sudah berkumpul mengantri untuk berfoto menikmati keelokan Sumur Gumuling.
Kolam Tamansari
"Ver, fotoin mamah kaya di film India"
Tidak sampai satu jam kami menjelajah Tamansari kaki ini sudah pegal. Kami memutuskan untuk istirahat dan jajan es kelapa muda di dekat pintu keluar Tamansari. Aku kira harganya akan mahal karena di tempat wisata tapi enggak dong... harganya hanya Rp5.000,00 saja! Untuk rasa manisnya kami bebas pilih. Ada rasa gula merah, susu, dan sirop.

Perjalanan dilanjutkan ke Tempo Gelato  yang terletak di Prawirotaman, dekat dengan penginapan kami. Niat awal kami memilih cabang Prawirotaman adalah supaya gampang kembali lagi ke penginapan dan mandi sebelum mengunjungi Benteng Vredeburg. Eh tapi untungnya kami googling dulu dan menemukan fakta bahwa Benteng Vredeberg tutup jam 16.00. Jadi, setelah makan eskrim kami harus cepat bergegas ke benteng sebelum tutup.

Di Tempo Gelato ada banyaaaaaak sekali rasa gelato, mulai dari rasa yang memang biasanya ada sampai rasa yang aneh-aneh. Untuk harga awalnya aku pikir sangat mahal tapi pas lihat wujud gelatonya WOW GEDE BANGEEET!! Makan satu porsi gelato large itu kenyangnya udah ujubileh dan gak perlu lagi makan siang. Rasa gelatonya enak meski tidak terlalu creamy. Kalau di Bandung rasa gelatonyanya yaaa sebelas dua belas lah sama Let’s go gelato.
Setelah kenyang dan berkali-kali sendawa saking kenyangnya, kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Vredeberg. Biaya masuknya murah bangeeeet.. cuma Rp3.000,00 aja dan tanpa tiket tambahan untuk izin berfoto. Uhuuuuy... Museum Vredeburg berisi berpuluh-puluh diorama yang menceritakan sejarah Negara Indonesia dari jaman penjajahan sampai merdeka. Diorama-diorama yang ditampilkan disini sangat terawat sampai ada pengaturan suhunya segala di setiap box diorama. Kalau kamu suka sejarah, pasti akan sangat suka tempat ini karena kita diajak membaca sejarah dengan cara yang menyenangkan. Satu box diorama bisa menghabiskan waktu 3-5 menit tergantung seberapa dalam kita menghayati cerita dibaliknya. Aku menghabiskan waktu cukup lama di mueum ini, ada lah kayanya 3 jam.
Diorama di museum
Pemandangan dari atas benteng
Kenyang belajar sejarah, tiba-tiba perut kami keroncongan dan kami memutuskan mencari makan di daerah Malioboro karena kebetulan Vredeburg ini letaknya di ujung jalan Malioboro. Setelah googling, kami memutuskan untuk membeli lumpia samijaya yang terkenal itu dan gudeg Yu Djum. Lumpia Samijaya dijual di dekat hotel Mutiara, tepatnya ada di samping kanan luar hotel. Lumpia ini  rasanya enak dan unik! Unik karena isinya adalah kecambah kacang hijau yang gurih dipadukan dengan suwir ayam. Sambel cocolannya beda dari yang lain yaitu sambel bawang (beneran bawang tanpa cengek) wkwkwk. Siap-siap weh bau baham.... tapi enak serius!! Harganya aku agak lupa, kalau tidak salah Rp6.000,00. Agak mahal sih, tapi ukurannya sangat bogem jadi tentu saja tidak rugi. Mamahku bilang kalau lumpia ini enak karena ada rasa gurih alami dari kecambah.

Selanjutnya kami berjalan lagi mencari gudeg Yu Djum. Kami datang ke cabangnya, jadi tempatnya kecil dan agak hareudang. Meski begitu, hal itu tudak mengurangi kenikmatan gudeg YuDjum yang terkenal dan khas (bilang aja laper). Hal bodoh yang aku lakukan adalah mengiyakan menu yang ditawarkan oleh mas-masnya tanpa tanya harga. Kalau nasi+gudeg+krecek+telor saja paling hanya merogoh kocek belasan ribu. Akan tetapi aku nambah ayam dan haranya langsung meroket jadi puluhan ribu. Aku lupa tepatnya berapa tapi untuk makan bertiga aku harus mengeluarkan uang Rp149.000,00. Untung enak jadi gak merasa rugi-rugi amat. Karena aku sangat lapar aku sampai tidak sempat untuk mengambil foto. Langsung dibelewekeun weh....
Sebelum kembali ke penginapan, kami sempatkan terlebih dahulu untuk beli daster di pasar Beringharjo karena kebetulan kami tidak ada yang bawa baju tidur hahahaaa.. kami membeli daster cantik dengan harga Rp100.000,00 isi empat. Kalau beli satuan harganya Rp35.000,00. Menolak rugi tentu saja kami langsung membeli empat daster.




Silahkan klik #YogyakartaDay2 dan #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya
Maret 17, 2020 No comments
Newer Posts
Older Posts

Hi, there!!!

VERA
25 years old doctor who write to keep memories alive. 
Read more >

recent posts

Blog Archive

  • ►  2022 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (1)
  • ▼  2020 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ▼  Maret (2)
      • #YogyakartaDay2
      • #YogyakartaDay1
  • ►  2019 (9)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (4)
  • ►  2017 (2)
    • ►  September (2)

Instagram

Popular Posts

  • Pengalaman Ikut Pelatihan ACLS 2019
    Dokter mana yang tidak tahu jargon “I clear, you clear, everybody clear”? aku yakin hampir semua dokter tahu jargon ini. Bahkan orang aw...
  • Satu Hari di Medan Merdeka Jakarta
    Aku jarang sekali pergi ke Jakarta. Kalaupun ke Jakarta pastilah tempat yang dikunjungi adalah   Dufan. Kali ini aku dan Fika berkunjung k...
  • Belum
    Direngkuhnya petang.. Bersama semilir adzan yang dipeluk angin.. Doanya menggelayut bersama air wudhu.. Satu harap yang berjalan sete...
  • Belanja di Bookdepository.com
    Berawal dari kesulitan mencari buku L’art de la Simplicite yang asli di shopee, aku mencari-cari online shop lain yang menyediakan buku y...
  • Short Escape to Anyer
    Beberapa hari yang lalu aku mendengar berita mengenai gelombang air laut tinggi yang menyapu pantai Anyer. Kaget? Tentu saja!! Tepat dua b...

Created with by ThemeXpose