#YogyakartaDay2

by - Maret 29, 2020

Hari ke-2 kami memutuskan untuk sarapan di penginapan. Tadinya ingin icip-icip jajanan pagi di Malioboro tapi karena keburu lapar jadinya kami makan dulu di penginapan. Di Omah Pugeran ini sarapan yang disediakan adalah Roti panggang dan telor orak-arik. Yaa pokoknya sarapan ala bule bule gitu. Aku sih merasa kurang kenyang soalnya biasa makan nasi hahaa.. tapi disini tidak tersedia nasi. Akhirnya di jalan kami beli camilan extra untuk ganjal perut sebelum makan siang.

Destinasi pertama kami adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kami mulai menjelajah ke komplek depan keraton. Saat kami datang, keraton masih agak sepi karena sedikit sekali pengunjung yang datang. Tiket masuknya adalah Rp5.000,00. Dan izin berfoto Rp2.000,00. Awalnya kami mau menyewa guide namun karena di pintu masuk kami sudah mendapatkan pamflet yang ternyata isinya adalah segala informasi mengenai bangunan keraton depan maka kami tidak jadi sewa guide. Tapi aku merasa kayanya bakalan lebih asik kalau ada guide jadi kita fokus melihat-lihat sambil mendengar penjelasan, daripada sibuk membaca kertas. Pada saat ada rombongan bule yang mendengarkan penjelasan daru guide, aku biasanya ikut-ikutan denger, haha... Di komplek depan ini kita bisa melihat diorama yang isinya patung menggunakan busana khas Yogyakarta baik itu anak-anak, remaja, dewasa, dan lainnya di berbagai kondisi dan acara. Menurutku patung-patung ini agak kurang terawat karena debu-debu nampak nyata adanya. Kemudian kita bisa melihat mobil-mobil sultan yang biasa dipakai untuk berjalan-jalan. Untuk bagian indoor aku dan keluarga disuguhkan alat musik gamelan yang dipajang. Di sebelahnya ada kumpulan foto sultan dari Hamengkubuwono pertama. Dari situ aku baru tau kalau gelar masing-masing sultan itu sangaaaaaaaaaaaat panjang. Kayanya kalau jaman dulu ada ujian nasional susah banget tulis namanya di kertas ujian hingga pensilnya sudah tumpul duluan untuk menulis nama.

Selesai menjelajah komplek depan, kami langsung menuju ke komplek belakang. Untuk biaya masuknya Rp8.000,00. Lagi-lagi aku tidak menyewa jasa tour guide karena aku lihat ada banyak sekali orang bule dan rombongan anak SD yang sudah menyewa tour guide. Jadi aku ngikut rombongan mereka deh (Anaknya gak mau rugi). Untuk komplek belakang ini menurutku lebih seru karena pada saat masuk kami disambut oleh mocopat atau pembacaan puisi. Nah jadi, di keraton bagian belakang ini rutin diadakan pentas yang setiap hari berbeda-beda. Hari Selasa ada pagelaran uyon-uyon, Rabu pagelaran wayang golek, Kamis pagelaran wayang kulit, sementara Sabtu dan Minggu pagelaran wayang wong.

Puas melihat pembacaan puisi (yang aku juga sebenernya gak paham arti dari puisinya haha) kami melanjutkan jelajah keraton. Di sini kita bisa melihat barang-barang peninggalan kerajaan. Entah itu barang dapur, kursi, meja, kain batik, guci, alat tulis, dan maaaasih banyak lagi. Yang paling mencuri perhatianku adalah foto foto dan kisah hidup sultan. Ternyata Sultan itu pas masih muda ganteng banget hehee... Beberapa benda yang dipamerkan masih dalam keadaan baik namun beberapa tidak dalam keadaan baik dengan debu dimana-mana. Sungguh disayangkan menurutku. Di sudut keraton yang lain terdapat kumpulan ibu-ibu yang sedang membuat batik. Aku hanya melihat dari dekat saja karena tidak mau mengganggu konsentrasi mereka dalam membatik. Kukira memang seharusnya seperti itu, namun ternyata kita bisa mencoba membatik juga. Diajarin loh! Aku gak ikutan soalnya antrian sudah terlanjur panjang dan aku lebih tertarik untuk menjelajah isi keraton yang tersisa sebelum keraton tutup.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.00. Bapak langsung melesat ke masjid Gedhe Kasultanan duluan karena mau shalat Jumat. Aku, adik, mamah, dan emak ngaso dulu di depan museum kereta. Tadinya kami mau masuk tapi kami kabita ada baso yang dijual di depan museum jadinya kami ngebaso terlebih dahulu. Saat jam menunjukkan pukul 12.00 kami menyusul bapak ke masjid. Setelah para laki-laki selesai shalat Jumat kini giliran wanita yang shalat. Interior masjid ini masyaAllah bagus banget. Tiang di bagian dalam bangunan terbuat dari kayu jati yang kokoh dan menjulang menyokong bangunan. Betah deh pokoknya kalau di dalam masjid lama-lama. Oh iya bagi yang ingin minum jamu dingin, di depan masjid ada yang jual es beras kencur, es kunyit asam, dan berbagai jamu lainnya yang diberi es. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp5.000,00 saja.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke museum Sonobudoyo. Museum Sonobudoyo ini sebenarnya ada dua cabang, dan aku memilih cabang yang dekat dengan Masjid Gedhe. Tiket masuk museum Sonobudoyo ini cukup murah, yakni Rp3.000,00. Saja dan tanpa harus bayar izin berfoto tentunya. Saat masuk kita akan disambut oleh gamelan salendro pelog yang mengeluarkan bunyi sendiri saat sensornya mendeteksi ada yang lewat. Selanjutnya kami disuguhkan ruang pengenalan yang menyajikan pajangan tempat tidur lengkap dengan kelambu serta barang barang lainnya yang khas sekali berbau tradisional Jawa. Di ruangan setelahnya ada ruangan prasejarah berisi koleksi benda prasejarah berikut cerita mengenai apa yang terjadi pada jaman tersebut. Disini juga ada replika kerangka tulang manusia loh! Di ruang ruang berikutnya kita bisa mendapatkan informasi mengenai sistem sosial, agama, seni, bahasa dan lainnya. Kami tiak terlalu lama menjelajah museum ini karena museumnya sudah mau tutup. Jika kalian sangat suka sejarah, museum Sonobudoyo merupakan pilihan tepat untuk dikunjungi.

Sedih karena tidak bisa kaffah dan haqiqi dalam menjelajah museum sonobudoyo. Namun kesedihan itu tidak menyurutkan semangat dalam menjelajahi kota Yogyakarta. Kami melanjutkan perjalanan ke The House of Raminten karena bapak sudah lapar. Alhamdulillah pada saat kami ke sana restoran dalam keadaan tidak terlalu ramai sehingga kami bisa cepat mendapatkan tempat duduk. Kalaupun masuk daftar waiting list, kita bisa menunggu di bagian luar sambil duduk manis. Di situ juga ada kulkas berisi minuman yang bisa kita beli untuk melegakan dahaga sebelum masuk ke bagian dalam rumah makan. Ada banyak yang unik dari restoran ini. Ketika masuk kita disambut oleh bau dupa yang aak menyengat. Agak merinding sih waktu pertama kali datang. Apalagi musik yang diputar kaya di kondangan adat jawa yang bikin merinding. Sungguh, untung datang kesini gak pas malam. Pegawai-pegawainya berseragam pakaian tradisional. Untuk pegawai wanita mereka berseragamkan kain kemben dan pria pake batik tapi ada rompinya. Wow, unik sekali. Makanan yang ditawarkan sangat beragam dan harganya bisa dibilang cukup murah dengan porsi yang luar biasa jumbo alaihim gambreng. Tapi namanya juga Vera, yang kalau lapar susah mikir jadinya begitu makanan datang aku langsung melahap makanan tersebut tanpa difoto dulu.

Kenyang makan di Raminten, kami akhirnya pulang ke penginapan. Kami harus bersiap-siap berangkat ke Mandira Bruga untuk menonton pertunjukan sendratari Ramayana. Awalnya aku galau apakah aku harus reservasi via traveloka atau langsung datang saja. Untungnya aku sempat kepo instagram @ramayanaballetpurawisata dan menemukan harga istimewa yang jauh lebih murah dibanding traveloka. Harga asli menonton sendratari di Mandira Bruga adalah Rp110.000,00. Apabila kita memesan langsung/via telepon kita mendapatkan harga Rp85.000,00 saja. Nah ada best deal lagi jika yang menonton adalah pelajar/mahasiswa, hanya kena harga Rp60.000,00 dong!! Aku sangat bersyukur tidak jadi pesan di traveloka wkwkkkk... dengan harga segitu, kita sudah mendapatkan naskah sendratari (ada banyak bahasa dan kita bebas memilih) dan sebotol air mineral. Sebenarnya jika ingin makan malam di area Mandira Bruga juga bisa sih namun nambah biayanya lebih mahal lagi. Aku kan anaknya kopet bin medit, jadi makan malamnya lebih baik di luar saja. Sebenarnya jika kita ingin pengalaman yang lebih menarik, kita bisa juga menonton sendratari ini di Candi Prambanan dengan latar langit Yogyakarta dan Candi-candi. Sayangnya khusus di musim hujan pertunjukan dilakukan indoor. Jadi ya intinya mah sama saja kaya nonton di Purawisata.

Sendratari yang berlangsung selama 1,5 jam ini menceritakan kisah cinta Rama dan Shinta. Kisahnya dibungkus secara menarik dengan tarian-tarian dan beberapa adegan berbahaya yang menggunakan api. Ada baiknya apabila kita sudah membawa naskah sinopsis yang dibagikan di pintu masuk sebelum menonton supaya mengerti maksud dari sendratari yang disajikan karena sepanjang pertunjukan kita hanya dapat mendengar suara bahasa Jawa dari sang sinden. Di akhir pertunjukan pengunjung dipersilahkan berfoto ria dengan para penari.



Silahkan klik #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya

You May Also Like

0 comments