Gudeg YuDjumLiburan ke YogyakartaLiburan ke Yogyakarta bersama keluargaLumpia SamijayaMalioboroMuseum VredebergSoto ayam lenthok pak garengTamansaritempo gelatoTravelling
#YogyakartaDay1
Siapa yang tidak tahu Daerah
Istimewa Yogyakarta? Salah satu destinasi pilihan di Indonesia yang menawarkan
berjuta pesona yang memanjakan para turis, baik lokal maupun mancanegara.
Kebetulan aku sedang mendapatkan libur panjang dari tempatku bekerja sehingga
aku memutuskan mengunjungi Yogyakarta bersama keluarga.
Aku pergi ke Yogyakarta dengan
menggunakan kereta api Lodaya. Aku dan keluarga sampai di Yogyakarta dini hari.
Sembari menunggu matahari terbit, kami shalat dan cuci muka di Mushola Stasiun
Tugu. Musholanya cukup bersih dan nyaman apalagi apabila kita datang lebih
cepat sebelum adzan berkumandang. Air yang digunakan untuk berwudhu pun bersih
dan segar. Jika kita tidak membawa mukena disana disediakan juga mukena untuk
dipinjamkan, tapi ya harus gantian dengan pengunjung lain.
Foto wajib begitu sampai di Yogyakarta |
Setelah shalat subuh, cuci muka,
dan dandan seadanya, kami langsung melesat ke Soto Ayam Lenthok Pak Gareng dengan wajah caludih yang
letaknya dekat pintu stasiun utara. Saat kami datang, kedai sotonya masih sepi
karena gerobaknya belum datang. Di sana hanya ada beberapa pegawai yang
bersih-bersih meja dan kursi. Beberapa pegawai adayang mulai menghidangkan
camilan di tiap meja sehingga kami bisa memilih tempat duduk yang nyaman dan
menikmati camilan yang sudah disediakan seperti sate usus, sate puyuh,
perkedel, gorengan, dan lain sebagainya. Soto Pak Gareng ini cukup terkenal di
Yogyakarta. Menurut beberapa blog yang aku baca, tempat ini adalah destinasi
wajib bagi turis yang baru datang ke Yogyakarta di pagi hari atau yang akan
pulang ke tempat masing-masing menggunakan kereta. Alhamdulillah aku dan
keluarga sudah mendapatkan tempat duduk di kedai karena tak lama setelah kedai
buka banyak sekali orang berdatangan ke kedai pak Gareng ini. Untuk harga menurutku
cukup terjangkau, yakni Rp11.000,00 saja. Kalau mau tambah sate kita cuma
nambah Rp3.0000,00 saja. Cukup terjangkau kan?
Cuma bisa fotoin tempatnya aja, karena makannya udah keburu habis saking laparnya |
Perut sudah terisi, kini saatnya
ke penginapan untuk menyimpan koper dan tas besar. Aku dan keluarga menginap di
Omah Pugeran yang terletak di belakang SMAN 7 Yogyakarta. Sebenarnya kami ingin
menginap di penginapan di dekat Malioboro supaya gampang kemana-mana namun
sayangnya kamar yang tersedia sudah habis dan penginapan ini adalah penginapan
yang jaraknya paling dekat dan masih tersedia. Tentunya dengan harga yang murah
juga. Kami bertemu dengan penjaga penginapan yang cukup ramah. Kami
dipersilahkan untuk duduk duduk santai terlebih dahulu dan minum teh/kopi (tapi
bikin sendiri). Kami tidak lama duduk santai di penginapan karena kami hendak
mengunjungi Tamansari yang letaknya tidak jauh dari penginapan.
Waktu itu jam menunjukkan pukul
07.00, namun beberapa warga lokal yang kami temui di jalan bilang kami bisa
melihat-lihat bangunan sekitar Tamansari dalam keadaan sepi dan berfoto-ria
dengan sepuasnya apabila datang lebih pagi. Hanya butuh kurang lebih 10 menit
berjalan kaki dari penginapan, kami sampai di pintu masuk Tamansari. Saat
sampai kami disambut oleh warga lokal bernama Pak Adi. Pak Adi menawarkan
jasanya untuk mengajak kami berkeliling sebelum Tamansari dibuka. Tanpa
berpikir panjang kami mengiyakan tawaran Pak Adi tersebut. Pak Adi ini adalah
seorang abdi dalem keraton yang berdinas shift siang. Pagi-pagi sebelum
bertugas biasanya Pak Adi berprofesi sebagi tourguide
di daerah Tamansari karena kebetulan rumahnya pun masih di komplek Tamansari.
Pak Adi mengajak kami berkeliling ke area dapur kerajaan, kamar sultan, area
sambung ayam, area tempat shooting ‘Mak
Lampir’, sumur harapan, kampung digital, terowongan, dan maaaaasih banyak lagi.
Tidak lupa pula Pak Adi bercerita tentang bangunan-bangunan yang kami lewati.
Pak Adi juga sabar sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami tanyakan
meskipun pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh, hahaaa. Kalau ada spot foto
bagus, ia langsung menawarkan diri untuk menjadi photografer. Hasilnya? Woooh
oke banget. Katanya dia udah sering diminta mengambil foto sehingga sudah hapal
mana spot-spot foto dan gaya yang bagus. Sepanjang perjalanan Pak Adi menyapa
para warga yang sebagian besar merupakan para abdi dalem juga. Para abdi dalem
ini ternyata diberi rumah kontrakan oleh Sultan dengan harga yang sangat
terjangkau, yakni hanya Rp5.000,00 per tahun untuk rumah kecil dan Rp10.000,00
untuk rumah yang agak besar. Iya, kamu gak salah baca kok... LIMA RIBU RUPIAH
PER TAHUN. Aku juga awalnya berpikir harga yang ditawarkan itu untuk sewa satu
bulan atau satu minggu, tapi yaaa memang semurah ituuuuu..
Tempat shooting Mak Lampir |
Hasil jepretan Pak Adi |
Terowongan Tamansari |
Salah satu mural di kampung digital |
Muka lelah gempor diajak jalan-jalan tapi Pak Adi maksa foto |
"Ayok foto dulu yok mungpun sepi" kata Pak Adi |
Di tengah perjalanan kami diajak
ke rumah teman Pak Adi untuk melihat-lihat batik tulis buatan salah satu abdi
dalem. Aku dan keluarga tidak beli sih, tapi di akhir perjalanan liburan, kami
agak menyesal tidak beli karena ternyata batiknya bagus banget dan cukup murah
dengan kualitas yang oke punya. Oh iya saat tour
juga kami diajak naik ke salah satu genteng warga (yang mepet sama tembok
Tamansari) untuk melihat isi Tamansari dari atas. Pak Adi bilang “Sebenernya
tiket Tamasari itu dibeli supaya kita bisa lihat kolam dari jarak dekat dan
sumur Gumuling, seperti yang kita lihat dari atas sini sih.. sama percis!
Mending uang jenengan dipake buat
jajan yang lain aja.”
Batik tulis buatan abdi dalem yang tinggal di dekat Tamansari |
Di akhir tour, Pak Adi mengajak kami ke rumahnya yang pintunya terbuka
(pintu terbuka artinya abdi dalem empunya rumah hendak tugas shift siang, kalau pintu tertutup
artinya lagi tugas pagi). Kami diajak melihat lukisan-lukisan karya tangan Pak
Adi yang wwooooooow bagus banget sungguh!! Tapi Pak Adi tidak memaksa kami
membeli seperti kebanyakan tourguide
dan tidak membuat kami merasa tidak nyaman.
Bagian depan rumah Pak Adi dipakai sebagai galeri lukis |
Total perjalanan kami bersama Pak
Adi adalah 1,5 jam dan kami sangat puas!! Aku sudah googling harga pasaran
tourguide Yogyakarta berapa dan sebenernya sih standarnya
Rp25.000,00-Rp30.000,00. Tapi aku memberi uang Rp50.000,00 untuk jasanya karena
1,5 jam itu cape coy!! Apalagi dengan kebaikannya yang luar biasa dan mulutnya
yang komat-kamit menjelaskan segala hal padaku dan keluarga dengan semangatnya.
Tepat pukul 09.00, ticketing Tamansari dibuka. Karena aku
dan keluarga adalah turis yang penasaran jadinya tetep aja beli tiket untuk
masuk Tamansari hahaa. Untuk harga tiket satu orang harus membayar Rp5.000,00.
Apabila kita membawa kamera atau hendak berfoto dengan kamera handphone maka
diwajibkan untuk membayar izin berfoto seharga Rp3.000,00. Sesuai keterangan
Pak Adi, kami memang hanya melihat kolam dan bangunan yang mirip-mirip dengan
bangunan yang kami singgahi bersama Pak Adi. Tapi ya lihat kolamnya juga dari
jarak dekat tentunya. Satu-satunya yang bikin kami penasaran saat masuk ke area
Tamansari adalah sumur Gumuling. Pada saat kami kesana ribuan orang sudah
berkumpul mengantri untuk berfoto menikmati keelokan Sumur Gumuling.
Kolam Tamansari |
"Ver, fotoin mamah kaya di film India" |
Tidak sampai satu jam kami
menjelajah Tamansari kaki ini sudah pegal. Kami memutuskan untuk istirahat dan jajan
es kelapa muda di dekat pintu keluar Tamansari. Aku kira harganya akan mahal
karena di tempat wisata tapi enggak dong... harganya hanya Rp5.000,00 saja!
Untuk rasa manisnya kami bebas pilih. Ada rasa gula merah, susu, dan sirop.
Perjalanan dilanjutkan ke Tempo
Gelato yang terletak di Prawirotaman,
dekat dengan penginapan kami. Niat awal kami memilih cabang Prawirotaman adalah
supaya gampang kembali lagi ke penginapan dan mandi sebelum mengunjungi Benteng
Vredeburg. Eh tapi untungnya kami googling
dulu dan menemukan fakta bahwa Benteng Vredeberg tutup jam 16.00. Jadi, setelah
makan eskrim kami harus cepat bergegas ke benteng sebelum tutup.
Di Tempo Gelato ada banyaaaaaak
sekali rasa gelato, mulai dari rasa yang memang biasanya ada sampai rasa yang
aneh-aneh. Untuk harga awalnya aku pikir sangat mahal tapi pas lihat wujud
gelatonya WOW GEDE BANGEEET!! Makan satu porsi gelato large itu kenyangnya udah
ujubileh dan gak perlu lagi makan siang. Rasa gelatonya enak meski tidak
terlalu creamy. Kalau di Bandung rasa gelatonyanya yaaa sebelas dua belas lah
sama Let’s go gelato.
Setelah kenyang dan berkali-kali
sendawa saking kenyangnya, kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Vredeberg.
Biaya masuknya murah bangeeeet.. cuma Rp3.000,00 aja dan tanpa tiket tambahan
untuk izin berfoto. Uhuuuuy... Museum Vredeburg berisi berpuluh-puluh diorama
yang menceritakan sejarah Negara Indonesia dari jaman penjajahan sampai
merdeka. Diorama-diorama yang ditampilkan disini sangat terawat sampai ada
pengaturan suhunya segala di setiap box diorama. Kalau kamu suka sejarah, pasti
akan sangat suka tempat ini karena kita diajak membaca sejarah dengan cara yang
menyenangkan. Satu box diorama bisa menghabiskan waktu 3-5 menit tergantung
seberapa dalam kita menghayati cerita dibaliknya. Aku menghabiskan waktu cukup
lama di mueum ini, ada lah kayanya 3 jam.
Diorama di museum |
Pemandangan dari atas benteng |
Kenyang belajar sejarah,
tiba-tiba perut kami keroncongan dan kami memutuskan mencari makan di daerah
Malioboro karena kebetulan Vredeburg ini letaknya di ujung jalan Malioboro.
Setelah googling, kami memutuskan
untuk membeli lumpia samijaya yang terkenal itu dan gudeg Yu Djum. Lumpia
Samijaya dijual di dekat hotel Mutiara, tepatnya ada di samping kanan luar
hotel. Lumpia ini rasanya enak dan unik!
Unik karena isinya adalah kecambah kacang hijau yang gurih dipadukan dengan
suwir ayam. Sambel cocolannya beda dari yang lain yaitu sambel bawang (beneran
bawang tanpa cengek) wkwkwk. Siap-siap weh bau baham.... tapi enak serius!!
Harganya aku agak lupa, kalau tidak salah Rp6.000,00. Agak mahal sih, tapi
ukurannya sangat bogem jadi tentu saja tidak rugi. Mamahku bilang kalau lumpia
ini enak karena ada rasa gurih alami dari kecambah.
Selanjutnya kami berjalan lagi
mencari gudeg Yu Djum. Kami datang ke cabangnya, jadi tempatnya kecil dan agak hareudang. Meski begitu, hal itu tudak
mengurangi kenikmatan gudeg YuDjum yang terkenal dan khas (bilang aja laper). Hal
bodoh yang aku lakukan adalah mengiyakan menu yang ditawarkan oleh mas-masnya
tanpa tanya harga. Kalau nasi+gudeg+krecek+telor saja paling hanya merogoh
kocek belasan ribu. Akan tetapi aku nambah ayam dan haranya langsung meroket
jadi puluhan ribu. Aku lupa tepatnya berapa tapi untuk makan bertiga aku harus
mengeluarkan uang Rp149.000,00. Untung enak jadi gak merasa rugi-rugi amat. Karena
aku sangat lapar aku sampai tidak sempat untuk mengambil foto. Langsung
dibelewekeun weh....
Sebelum kembali ke penginapan,
kami sempatkan terlebih dahulu untuk beli daster di pasar Beringharjo karena
kebetulan kami tidak ada yang bawa baju tidur hahahaaa.. kami membeli daster
cantik dengan harga Rp100.000,00 isi empat. Kalau beli satuan harganya
Rp35.000,00. Menolak rugi tentu saja kami langsung membeli empat daster.
Silahkan klik #YogyakartaDay2 dan #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya
0 comments