#YogyakartaDay1

by - Maret 17, 2020


Siapa yang tidak tahu Daerah Istimewa Yogyakarta? Salah satu destinasi pilihan di Indonesia yang menawarkan berjuta pesona yang memanjakan para turis, baik lokal maupun mancanegara. Kebetulan aku sedang mendapatkan libur panjang dari tempatku bekerja sehingga aku memutuskan mengunjungi Yogyakarta bersama keluarga.

Aku pergi ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api Lodaya. Aku dan keluarga sampai di Yogyakarta dini hari. Sembari menunggu matahari terbit, kami shalat dan cuci muka di Mushola Stasiun Tugu. Musholanya cukup bersih dan nyaman apalagi apabila kita datang lebih cepat sebelum adzan berkumandang. Air yang digunakan untuk berwudhu pun bersih dan segar. Jika kita tidak membawa mukena disana disediakan juga mukena untuk dipinjamkan, tapi ya harus gantian dengan pengunjung lain. 
Foto wajib begitu sampai di Yogyakarta
Setelah shalat subuh, cuci muka, dan dandan seadanya, kami langsung melesat ke Soto Ayam Lenthok Pak Gareng dengan wajah caludih yang letaknya dekat pintu stasiun utara. Saat kami datang, kedai sotonya masih sepi karena gerobaknya belum datang. Di sana hanya ada beberapa pegawai yang bersih-bersih meja dan kursi. Beberapa pegawai adayang mulai menghidangkan camilan di tiap meja sehingga kami bisa memilih tempat duduk yang nyaman dan menikmati camilan yang sudah disediakan seperti sate usus, sate puyuh, perkedel, gorengan, dan lain sebagainya. Soto Pak Gareng ini cukup terkenal di Yogyakarta. Menurut beberapa blog yang aku baca, tempat ini adalah destinasi wajib bagi turis yang baru datang ke Yogyakarta di pagi hari atau yang akan pulang ke tempat masing-masing menggunakan kereta. Alhamdulillah aku dan keluarga sudah mendapatkan tempat duduk di kedai karena tak lama setelah kedai buka banyak sekali orang berdatangan ke kedai pak Gareng ini. Untuk harga menurutku cukup terjangkau, yakni Rp11.000,00 saja. Kalau mau tambah sate kita cuma nambah Rp3.0000,00 saja. Cukup terjangkau kan?
Cuma bisa fotoin tempatnya aja, karena makannya udah keburu habis saking laparnya
Perut sudah terisi, kini saatnya ke penginapan untuk menyimpan koper dan tas besar. Aku dan keluarga menginap di Omah Pugeran yang terletak di belakang SMAN 7 Yogyakarta. Sebenarnya kami ingin menginap di penginapan di dekat Malioboro supaya gampang kemana-mana namun sayangnya kamar yang tersedia sudah habis dan penginapan ini adalah penginapan yang jaraknya paling dekat dan masih tersedia. Tentunya dengan harga yang murah juga. Kami bertemu dengan penjaga penginapan yang cukup ramah. Kami dipersilahkan untuk duduk duduk santai terlebih dahulu dan minum teh/kopi (tapi bikin sendiri). Kami tidak lama duduk santai di penginapan karena kami hendak mengunjungi Tamansari yang letaknya tidak jauh dari penginapan.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 07.00, namun beberapa warga lokal yang kami temui di jalan bilang kami bisa melihat-lihat bangunan sekitar Tamansari dalam keadaan sepi dan berfoto-ria dengan sepuasnya apabila datang lebih pagi. Hanya butuh kurang lebih 10 menit berjalan kaki dari penginapan, kami sampai di pintu masuk Tamansari. Saat sampai kami disambut oleh warga lokal bernama Pak Adi. Pak Adi menawarkan jasanya untuk mengajak kami berkeliling sebelum Tamansari dibuka. Tanpa berpikir panjang kami mengiyakan tawaran Pak Adi tersebut. Pak Adi ini adalah seorang abdi dalem keraton yang berdinas shift siang. Pagi-pagi sebelum bertugas biasanya Pak Adi berprofesi sebagi tourguide di daerah Tamansari karena kebetulan rumahnya pun masih di komplek Tamansari. Pak Adi mengajak kami berkeliling ke area dapur kerajaan, kamar sultan, area sambung ayam, area tempat shooting ‘Mak Lampir’, sumur harapan, kampung digital, terowongan, dan maaaaasih banyak lagi. Tidak lupa pula Pak Adi bercerita tentang bangunan-bangunan yang kami lewati. Pak Adi juga sabar sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami tanyakan meskipun pertanyaan itu adalah pertanyaan bodoh, hahaaa. Kalau ada spot foto bagus, ia langsung menawarkan diri untuk menjadi photografer. Hasilnya? Woooh oke banget. Katanya dia udah sering diminta mengambil foto sehingga sudah hapal mana spot-spot foto dan gaya yang bagus. Sepanjang perjalanan Pak Adi menyapa para warga yang sebagian besar merupakan para abdi dalem juga. Para abdi dalem ini ternyata diberi rumah kontrakan oleh Sultan dengan harga yang sangat terjangkau, yakni hanya Rp5.000,00 per tahun untuk rumah kecil dan Rp10.000,00 untuk rumah yang agak besar. Iya, kamu gak salah baca kok... LIMA RIBU RUPIAH PER TAHUN. Aku juga awalnya berpikir harga yang ditawarkan itu untuk sewa satu bulan atau satu minggu, tapi yaaa memang semurah ituuuuu..
Tempat shooting Mak Lampir

Hasil jepretan Pak Adi
Terowongan Tamansari
Salah satu mural di kampung digital

Muka lelah gempor diajak jalan-jalan tapi Pak Adi maksa foto
"Ayok foto dulu yok mungpun sepi" kata Pak Adi
Di tengah perjalanan kami diajak ke rumah teman Pak Adi untuk melihat-lihat batik tulis buatan salah satu abdi dalem. Aku dan keluarga tidak beli sih, tapi di akhir perjalanan liburan, kami agak menyesal tidak beli karena ternyata batiknya bagus banget dan cukup murah dengan kualitas yang oke punya. Oh iya saat tour juga kami diajak naik ke salah satu genteng warga (yang mepet sama tembok Tamansari) untuk melihat isi Tamansari dari atas. Pak Adi bilang “Sebenernya tiket Tamasari itu dibeli supaya kita bisa lihat kolam dari jarak dekat dan sumur Gumuling, seperti yang kita lihat dari atas sini sih.. sama percis! Mending uang jenengan dipake buat jajan yang lain aja.”
Batik tulis buatan abdi dalem yang tinggal di dekat Tamansari
Di akhir tour, Pak Adi mengajak kami ke rumahnya yang pintunya terbuka (pintu terbuka artinya abdi dalem empunya rumah hendak tugas shift siang, kalau pintu tertutup artinya lagi tugas pagi). Kami diajak melihat lukisan-lukisan karya tangan Pak Adi yang wwooooooow bagus banget sungguh!! Tapi Pak Adi tidak memaksa kami membeli seperti kebanyakan tourguide dan tidak membuat kami merasa tidak nyaman.
Bagian depan rumah Pak Adi dipakai sebagai galeri lukis
Total perjalanan kami bersama Pak Adi adalah 1,5 jam dan kami sangat puas!! Aku sudah googling harga pasaran tourguide Yogyakarta berapa dan sebenernya sih standarnya Rp25.000,00-Rp30.000,00. Tapi aku memberi uang Rp50.000,00 untuk jasanya karena 1,5 jam itu cape coy!! Apalagi dengan kebaikannya yang luar biasa dan mulutnya yang komat-kamit menjelaskan segala hal padaku dan keluarga dengan semangatnya.

Tepat pukul 09.00, ticketing Tamansari dibuka. Karena aku dan keluarga adalah turis yang penasaran jadinya tetep aja beli tiket untuk masuk Tamansari hahaa. Untuk harga tiket satu orang harus membayar Rp5.000,00. Apabila kita membawa kamera atau hendak berfoto dengan kamera handphone maka diwajibkan untuk membayar izin berfoto seharga Rp3.000,00. Sesuai keterangan Pak Adi, kami memang hanya melihat kolam dan bangunan yang mirip-mirip dengan bangunan yang kami singgahi bersama Pak Adi. Tapi ya lihat kolamnya juga dari jarak dekat tentunya. Satu-satunya yang bikin kami penasaran saat masuk ke area Tamansari adalah sumur Gumuling. Pada saat kami kesana ribuan orang sudah berkumpul mengantri untuk berfoto menikmati keelokan Sumur Gumuling.
Kolam Tamansari
"Ver, fotoin mamah kaya di film India"
Tidak sampai satu jam kami menjelajah Tamansari kaki ini sudah pegal. Kami memutuskan untuk istirahat dan jajan es kelapa muda di dekat pintu keluar Tamansari. Aku kira harganya akan mahal karena di tempat wisata tapi enggak dong... harganya hanya Rp5.000,00 saja! Untuk rasa manisnya kami bebas pilih. Ada rasa gula merah, susu, dan sirop.

Perjalanan dilanjutkan ke Tempo Gelato  yang terletak di Prawirotaman, dekat dengan penginapan kami. Niat awal kami memilih cabang Prawirotaman adalah supaya gampang kembali lagi ke penginapan dan mandi sebelum mengunjungi Benteng Vredeburg. Eh tapi untungnya kami googling dulu dan menemukan fakta bahwa Benteng Vredeberg tutup jam 16.00. Jadi, setelah makan eskrim kami harus cepat bergegas ke benteng sebelum tutup.

Di Tempo Gelato ada banyaaaaaak sekali rasa gelato, mulai dari rasa yang memang biasanya ada sampai rasa yang aneh-aneh. Untuk harga awalnya aku pikir sangat mahal tapi pas lihat wujud gelatonya WOW GEDE BANGEEET!! Makan satu porsi gelato large itu kenyangnya udah ujubileh dan gak perlu lagi makan siang. Rasa gelatonya enak meski tidak terlalu creamy. Kalau di Bandung rasa gelatonyanya yaaa sebelas dua belas lah sama Let’s go gelato.
Setelah kenyang dan berkali-kali sendawa saking kenyangnya, kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Vredeberg. Biaya masuknya murah bangeeeet.. cuma Rp3.000,00 aja dan tanpa tiket tambahan untuk izin berfoto. Uhuuuuy... Museum Vredeburg berisi berpuluh-puluh diorama yang menceritakan sejarah Negara Indonesia dari jaman penjajahan sampai merdeka. Diorama-diorama yang ditampilkan disini sangat terawat sampai ada pengaturan suhunya segala di setiap box diorama. Kalau kamu suka sejarah, pasti akan sangat suka tempat ini karena kita diajak membaca sejarah dengan cara yang menyenangkan. Satu box diorama bisa menghabiskan waktu 3-5 menit tergantung seberapa dalam kita menghayati cerita dibaliknya. Aku menghabiskan waktu cukup lama di mueum ini, ada lah kayanya 3 jam.
Diorama di museum
Pemandangan dari atas benteng
Kenyang belajar sejarah, tiba-tiba perut kami keroncongan dan kami memutuskan mencari makan di daerah Malioboro karena kebetulan Vredeburg ini letaknya di ujung jalan Malioboro. Setelah googling, kami memutuskan untuk membeli lumpia samijaya yang terkenal itu dan gudeg Yu Djum. Lumpia Samijaya dijual di dekat hotel Mutiara, tepatnya ada di samping kanan luar hotel. Lumpia ini  rasanya enak dan unik! Unik karena isinya adalah kecambah kacang hijau yang gurih dipadukan dengan suwir ayam. Sambel cocolannya beda dari yang lain yaitu sambel bawang (beneran bawang tanpa cengek) wkwkwk. Siap-siap weh bau baham.... tapi enak serius!! Harganya aku agak lupa, kalau tidak salah Rp6.000,00. Agak mahal sih, tapi ukurannya sangat bogem jadi tentu saja tidak rugi. Mamahku bilang kalau lumpia ini enak karena ada rasa gurih alami dari kecambah.

Selanjutnya kami berjalan lagi mencari gudeg Yu Djum. Kami datang ke cabangnya, jadi tempatnya kecil dan agak hareudang. Meski begitu, hal itu tudak mengurangi kenikmatan gudeg YuDjum yang terkenal dan khas (bilang aja laper). Hal bodoh yang aku lakukan adalah mengiyakan menu yang ditawarkan oleh mas-masnya tanpa tanya harga. Kalau nasi+gudeg+krecek+telor saja paling hanya merogoh kocek belasan ribu. Akan tetapi aku nambah ayam dan haranya langsung meroket jadi puluhan ribu. Aku lupa tepatnya berapa tapi untuk makan bertiga aku harus mengeluarkan uang Rp149.000,00. Untung enak jadi gak merasa rugi-rugi amat. Karena aku sangat lapar aku sampai tidak sempat untuk mengambil foto. Langsung dibelewekeun weh....
Sebelum kembali ke penginapan, kami sempatkan terlebih dahulu untuk beli daster di pasar Beringharjo karena kebetulan kami tidak ada yang bawa baju tidur hahahaaa.. kami membeli daster cantik dengan harga Rp100.000,00 isi empat. Kalau beli satuan harganya Rp35.000,00. Menolak rugi tentu saja kami langsung membeli empat daster.




Silahkan klik #YogyakartaDay2 dan #YogyakartaDay3 untuk membaca perjalananku selanjutnya

You May Also Like

0 comments